Abaikan Kebersihan, Abaikan Pedagang, Abaikan Warga – Kabar Surabaya

Surabaya (( Info Surabaya)) – Penempatan TPS di sisi timur Pasar Simo Mulyo memantik kemarahan pedagang dan warga. Mereka menilai kebijakan ini bukan sekadar keliru, tetapi mengabaikan akal sehat, mengancam kebersihan pasar, dan menunjukkan minimnya empati pemerintah terhadap masyarakat yang menggantungkan hidup dari aktivitas perdagangan.

Lokasi TPS yang hanya selemparan tangan dari pintu keluar-masuk pasar disebut sebagai keputusan sepihak tanpa kajian, tanpa sosialisasi, dan tanpa mempertimbangkan dampak yang akan langsung menimpa para pedagang.

“Ini bukan soal setuju atau tidak setuju dengan TPS. Ini soal bagaimana pemerintah bisa tega menaruh sampah di depan napas ekonomi warga,” tegas Sekretaris Paguyuban Pedagang Pasar Simo Mulyo, Junaedi, Jumat (28/11/2025).

Pedagang khawatir pasar akan dipenuhi bau menyengat, tumpukan sampah, serta ledakan lalat dan hama yang akan memukul omzet dan menurunkan kualitas pasar. Lebih parahnya lagi, banyak pedagang mengaku tidak pernah diberi sosialisasi sebelum TPS dipasang.

“Jangan jadikan pasar tradisional korban kebijakan instan. Kebersihan itu bukan pelengkap—itu fondasi. Pasar bisa mati kalau bau dan kumuh,” sambung Junaedi.

Pernyataan keras warga bermula setelah komentar Sekretaris Kecamatan Suko Manunggal, Junita, yang menyebut bahwa lahan tersebut adalah aset Pemkot sehingga bebas digunakan.

“Itu kan tanah pemkot, mau dibangun apa saja nggak masalah,” ujar Junita.

Pernyataan itu langsung dianggap warga sebagai bentuk arogansi kebijakan.
Warga menilai pemerintah daerah semestinya menjaga, bukan justru memaksakan.

“Tanah pemkot bukan berarti tanah tanpa nurani. Lahan publik itu seharusnya mengutamakan kepentingan publik, bukan meletakkan fasilitas yang jelas-jelas merugikan masyarakat,” keluh seorang pedagang.

Warga dan pedagang kini menuntut surabaya/” title=”pemkot surabaya”>Pemkot Surabaya menghentikan penempatan TPS, melakukan evaluasi total, dan membuka ruang dialog. Mereka menolak menjadi objek kebijakan yang dikerjakan tergesa-gesa tanpa mendengar suara mereka—suara yang seharusnya menjadi landasan setiap keputusan pemerintah.

Masyarakat menegaskan bahwa keberatan ini adalah alarm keras bahwa pengelolaan sampah tidak boleh mengorbankan ruang hidup dan ruang ekonomi warga.

“Kalau pemerintah ingin membangun TPS, bangunlah dengan kajian, komunikasi, dan kesadaran. Bukan dengan menabrak kenyamanan warga demi alasan teknis,” ujar Junaedi.

Warga menutup protesnya dengan tuntutan tegas:
Pemkot harus hadir, menjelaskan, mendengar, dan memperbaiki.
Bukan diam, bukan memaksakan, dan bukan meninggalkan pedagang menghadapi risiko lingkungan yang sebenarnya dapat dihindari.

Continue Reading