SURABAYA (( Info Surabaya)) — Praktik prostitusi yang melibatkan anak di Surabaya kembali memantik keprihatinan berbagai kalangan. Sorotan tajam datang dari Taufan Dzaky Athallah, S.H., praktisi hukum dari Yayasan Pendampingan dan Bantuan Hukum Indonesia (YPBHI), yang menilai bahwa negara dan masyarakat telah gagal melindungi anak jika eksploitasi seksual masih terjadi di ruang-ruang gelap kota.
Menurut Taufan, perlindungan anak bukan sekadar tanggung jawab moral, tetapi kewajiban hukum yang sudah diatur tegas dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Karena itu, ia menekankan agar penegakan hukum terhadap prostitusi anak harus menggunakan pasal yang tepat dan bersifat lex specialis.
“Dalam kasus prostitusi anak, aturan yang berlaku tidak bisa dicampur dengan pasal umum. Pasal 76I sudah jelas melarang setiap orang menempatkan, membiarkan, menyuruh, atau turut serta melakukan eksploitasi ekonomi maupun seksual terhadap anak,” ujarnya.
Ia menambahkan, Pasal 88 UU Perlindungan Anak juga memberikan ancaman pidana berat, yakni penjara maksimal 10 tahun dan/atau denda hingga Rp200 juta. Menurutnya, tidak boleh ada toleransi dalam penindakan kasus eksploitasi anak.
“Prostitusi anak adalah kejahatan yang mencabut masa depan. Aparat harus berani menindak tegas semua pihak yang terlibat—mulai mucikari, pengguna, hingga pihak yang membiarkan praktik tersebut terjadi,” tegasnya.
Keluarga Dinilai Garda Terdepan
Taufan juga mengingatkan bahwa keluarga memegang peran penting sebagai pelindung pertama bagi anak. Pola asuh yang tidak tepat, minimnya komunikasi, serta kurangnya pengawasan menjadikan anak lebih rentan terhadap kekerasan dan eksploitasi.
Ancaman Baru dari Ruang Digital
Selain prostitusi langsung, eksploitasi seksual berbasis online juga meningkat. Predator kini tidak lagi berpindah tempat, tetapi hadir melalui media digital yang mudah diakses anak.
“Literasi digital bagi anak dan orang tua wajib diperkuat agar mereka mampu mengenali dan menghindari potensi ancaman,” ujarnya.
Desak Kolaborasi dan Penegakan Konsisten
Ia menegaskan bahwa perlindungan anak membutuhkan kerja kolektif—pemerintah, sekolah, masyarakat, media, dan sektor swasta. Tanpa kolaborasi, ancaman terhadap anak sulit dicegah.
“Negara harus hadir. Penegakan hukum harus konsisten dan berpihak pada kepentingan terbaik bagi anak. Inilah ukuran keberadaban sebuah bangsa,” pungkasnya.
- Dipublikasi Pada 21 November 2025
- Baru Saja di Update Pada November 21, 2025
- Temukan Kami di Google News
Konten ini disempurnakan menggunakan Kecerdasan Buatan (AI).
