infosurabaya.com | SURABAYA – Di tengah era disrupsi digital, kehadiran kecerdasan buatan (AI) dalam komunikasi publik menjadi keniscayaan. AI kini digunakan dalam berbagai fungsi, mulai dari merancang narasi kebijakan, merespons keluhan masyarakat, hingga menyusun strategi kampanye perubahan perilaku.
Akan tetapi, sebagaimana dikatakan Pranata Humas Ahli Pertama dari Perwakilan Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (Kemendukbangga/BKKBN) Provinsi Jawa Timur, Aulia Dikmah Kiswahono, saat algoritma menggantikan manusia dalam menyampaikan pesan khususnya dalam konteks keluarga dan nilai, apakah suara yang terdengar masih membawa nurani?
Aulia yang terpilih sebagai narasumber bedah buku Antologi Transformasi Kehumasan di Era AI dan Literasi Kesehatan Kehumasan menegaskan, tantangan utama kita bukan hanya bagaimana menggunakan AI, tetapi bagaimana menjaga agar komunikasi publik tetap memiliki roh kemanusiaan.
“Karena dalam konteks keluarga di mana cinta, kepercayaan, dan empati menjadi landasan utama, suara tanpa nurani bukanlah solusi. AI mungkin bisa bicara, tapi hanya manusia yang bisa benar-benar menyentuh hati,” ujarnya.
UNESCO sendiri dalam Global Forum on the Ethics of Artificial Intelligence 2024 di Slovenia, menekankan pentingnya pendekatan etis, transparan, dan berpusat pada manusia dalam pemanfaatan AI, khususnya untuk sektor publik.
Melalui inisiatif bersama G7, UNESCO juga menggarisbawahi perlunya tata kelola AI yang mempertimbangkan hak asasi manusia, privasi, dan keberagaman budaya.
Dalam konteks keluarga Indonesia, lanjut Aulia, komunikasi tidak sekadar proses transfer informasi. Ia melibatkan nilai-nilai tradisional, emosi, dan kepercayaan yang telah mengakar turun-temurun.
“Sehingga ketika pesan tentang parenting, kesehatan reproduksi, atau 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) disampaikan melalui sistem otomatis tanpa intervensi manusia, risikonya bukan hanya kehilangan makna, tetapi juga degradasi nilai-nilai kemanusiaan,” tandas Aulia yang karyanya masuk dalam buku Antologi Transformasi Kehumasan di Era AI dan Literasi Kesehatan Kehumasan tersebut.
Diungkapkan, profesor Zuboff dari Harvard dalam bukunya The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for a Human Future at the New Frontier of Power (2019), mengingatkan, teknologi yang lepas dari kontrol manusia dapat mengubah cara kita berinteraksi secara fundamental.
Pengalaman manusia memang jadi bahan baku untuk data perilaku, sehingga tujuan teknologi bergeser dari sekadar membantu menjadi membentuk perilaku. Dalam konteks komunikasi keluarga, ini berarti hilangnya esensi kasih sayang dan empati yang menjadi fondasi hubungan manusia.
Mengutip data Reportal 2024 di Indonesia terdapat 139 juta pengguna aktif media sosial, atau setara dengan 49,9% dari total populasi. Khusus kelompok remaja, data Kementerian Komunikasi dan Informatika 2023 menunjukkan sebanyak 93,52% remaja aktif menggunakan media sosial, dengan WhatsApp menjadi platform dominan yang juga kerap menjadi saluran komunikasi dalam keluarga.
Fenomena ini mengisyaratkan potensi besar pemanfaatan chatbot dan AI dalam komunikasi publik yang menyasar keluarga.
“Namun, seiring peluang tersebut, muncul pula keraguan mendasar, mampukah komunikasi yang disampaikan mesin sepenuhnya memahami konteks emosional dan nilai budaya dalam keluarga?” kata Aulia.
Dalam program Pembangunan Keluarga, Kependudukan dan Keluarga Berencana (Bangga Kencana) yang diusung Kemendukbangga/BKKBN, penerapan HITL (human in the loop/ pengawasan dan intervensi manusia dalam setiap tahapan proses kerja AI) menjadi sangat penting.
Pesan-pesan seputar keluarga berencana, kesehatan ibu dan anak, maupun pendidikan seksual tidak bisa hanya disampaikan melalui pendekatan teknis.
“Diperlukan pemahaman akan konteks budaya, nilai-nilai lokal, serta sensitivitas emosional yang hanya bisa dipahami oleh manusia,” tandasnya.
Aulia mencontohkan kampanye digital seputar ASI eksklusif. AI mungkin mampu menyusun pesan yang secara medis tepat.
“Namun, tanpa pemahaman atas tekanan sosial yang dihadapi ibu muda, tantangan ekonomi keluarga, atau stigma terhadap ibu bekerja, pesan tersebut berisiko tidak relevan atau bahkan menyakitkan bagi audiens,” urainya.
Buku Antologi Transformasi Kehumasan di Era AI dan Literasi Kesehatan Kehumasan memuat artikel yang ditulis para humas yang tergabung dalam Ikatan Pranata Humas Indonesia (Iprahumas). Dari ratusan karya yang dikirim para anggota Iprahumas sebanyak 46 karya dipilih untuk dibukukan. Salah satunya tulisan Aulia yang berjudul “Suara Tanpa Nurani: Menjaga Etika dan Cinta dalam Komunikasi Publik Berbasis AI di Ranah Keluarga”.
Ketua Umum Iprahumas Indonesia, Fachrudin Ali mengatakan, tantangan terbesar kita ke depan, bukan sekadar bagaimana humas mampu mengadopsi teknologi terkini, melainkan juga bagaimana humas dapat berperan sebagai penjaga makna di tengah kebisingan data dan juga informasi artificial.
“Humas mempunyai peran penting dalam minimalisir distorsi dengan menjaga dan juga merawat narasi di ruang-ruang publik,” imbuhnya. (*red)
- Dipublikasi Pada 19 Desember 2025
- Baru Saja di Update Pada Desember 19, 2025
- Temukan Kami di Google News
Konten ini disempurnakan menggunakan Kecerdasan Buatan (AI).
