Infosurabaya.com – Suara semangat puluhan pemuda, akademisi, dan petambak garam tradisional menggema di Sekretariat Pemuda Garam Madura (PAGAMA) Kabupaten Sampang. Mereka bersatu mendeklarasikan dukungan terhadap Perpres Nomor 17 Tahun 2025, sebuah langkah strategis menuju swasembada garam nasional yang ditargetkan tercapai pada 2027. Deklarasi ini bukan sekadar seremonial, melainkan babak baru dalam peta jalan kemandirian pangan Indonesia. Kamis, (31/7/2025).
Aziz, ketua PAGAMA Sampang, menyatakan, “Ini momentum sejarah bagi petambak Madura!” Ia meyakini target swasembada garam bukan ilusi jika didukung kolaborasi multisektor. Namun, ia tak menutup mata pada tantangan berat: produktivitas garam tradisional yang masih bergantung pada cuaca dan teknologi evaporasi kuno.
Data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengungkap ironi pahit: kebutuhan garam nasional 2025 mencapai 4,9 juta ton, sementara produksi lokal hanya memenuhi 45%. Petambak Madura, tulang punggung produksi garam nasional, terjebak dalam lingkaran ketergantungan pada terik matahari. Musim hujan yang makin tak menentu memperparah kondisi. “Kami seperti bermain judi dengan alam,” keluh Aziz, mengenang gagal panen tahun sebelumnya.
Selain cuaca, alih fungsi lahan tambak menjadi ancaman nyata. Lahan garam di pesisir Madura menyusut drastis, terdesak oleh pembangunan infrastruktur dan permukiman. Padahal, garam lokal Madura dikenal memiliki kadar NaCl tinggi, cocok untuk industri farmasi dan makanan.
Di tengah keputusasaan, teknologi desalinasi sistem tertutup menawarkan harapan. “Ini game-changer!” tegas Aziz. Sistem ini memungkinkan produksi garam tanpa tergantung cuaca, dengan kualitas konsisten. Sayangnya, biaya investasi yang mencapai miliaran rupiah masih jadi penghalang bagi petambak kecil.
Solusi tak terduga datang dari limbah PLTU. Rejected brine (air limbah desalinasi PLTU) yang selama ini terbuang, ternyata mengandung potensi 1,8 juta ton garam/tahun. “Ini bisa tutup 40% kebutuhan impor!” ujar Aziz. KKP telah memetakan lokasi strategis untuk pengembangan teknologi ini, terutama di kawasan industri yang dekat dengan PLTU.
Persaingan dengan garam impor adalah tantangan terberat. Harga garam Australia dan India yang 30% lebih murah membuat industri besar seperti petrokimia lebih memilih produk impor. “Kami kalah sebelum bertanding,” sesal Aziz. Ironisnya, garam Madura justru banyak diburu industri rumahan seperti pengasinan ikan dan kerupuk.
Di sinilah Perpres 17/2025 dinilai krusial. Kebijakan ini akan mengurangi kuota impor garam konsumsi secara bertahap, sekaligus memberikan insentif teknologi untuk petambak. “Kami butuh level playing field,” tegas Aziz.
Kelompok pemuda ini tak hanya berwacana. Mereka aktif menjadi jembatan antara petambak tradisional dan inovasi. Program “sekolah lapang garam” mereka telah melatih 120 petambak dalam pengelolaan tambak modern. Dukungan akademisi juga mengalir, dengan riset peningkatan kualitas kristal garam dari Universitas Trunojoyo Madura.
“2027 bukan garis finis, tapi awal lompatan besar,” pungkas Aziz. Dengan sinergi triple helix (pemerintah-akademisi-bisnis), impian Indonesia mandiri garam bukan lagi sekadar mimpi.
- Dipublikasi Pada 31 Juli 2025
- Baru Saja di Update Pada Juli 31, 2025
- Temukan Kami di Google News
Konten ini disempurnakan menggunakan Kecerdasan Buatan (AI).
