Infosurabaya.com – Jonko Pranoto tak menyangka, sertifikat Hak Milik (SHM) atas tanah seluas 9.460 meter persegi di Trawas, Mojokerto, yang ia pegang sejak 1997, tiba-tiba dibatalkan oleh PTUN Surabaya. Padahal, dokumen itu ia dapatkan melalui proses waris sah yang dilegalisasi notaris. Yang lebih mengejutkan, penggugat—Tutik Munawaroh dan Anifah—tidak pernah hadir selama persidangan berlangsung.
“Ini seperti hukum bekerja terbalik. Sertifikat negara bisa dicabut hanya dengan klaim sepihak, sementara kami yang punya bukti malah kalah,” ujar Jonko, suaranya penuh kegeraman.
Kasus ini bermula ketika Tutik Munawaroh dan Anifah menggugat Badan Pertanahan Nasional (BPN) Mojokerto karena menerbitkan SHM atas nama Jonko. Mereka mengklaim tanah tersebut pernah dijual oleh almarhum Munajat kepada Kasman, lalu beralih ke Antonius Rusli.
Namun, ada beberapa kejanggalan fatal: Pertama, tidak ada bukti kepemilikan sebelumnya yang menunjukkan Munajat pernah memiliki tanah tersebut. Kedua, penggugat absen total selama persidangan, termasuk saat pemeriksaan setempat (PS)—padahal hukum mewajibkan kehadiran untuk verifikasi. Ketiga, SHM Jonko telah berdiri kokoh selama 27 tahun, sementara klaim penggugat hanya berbasis Akta Jual Beli (AJB) dan petok D, yang notabene bukan bukti kepemilikan kuat.
“Jika AJB bisa menggugurkan SHM, lalu buat apa negara repot-repot menerbitkan sertifikat?” tandas Susanto, kuasa hukum Jonko.
Putusan PTUN Surabaya bernomor 153/G/2024/PTUN.SBY ini menimbulkan preseden berbahaya dalam hukum agraria. Bagaimana mungkin sertifikat sah yang diterbitkan negara bisa dibatalkan hanya dengan klaim sepihak tanpa pembuktian kuat?
Beberapa pertanyaan kritis yang masih menggantung:
- Mengapa penggugat tidak diwajibkan hadir untuk memverifikasi klaim mereka?
- Apa dasar PTUN menerima gugatan tanpa memeriksa keabsahan ahli waris Munajat?
- Bagaimana bisa AJB dianggap lebih kuat daripada SHM yang telah melalui proses hukum panjang?
“Ini bukan sekadar kasus Jonko. Jika dibiarkan, masyarakat akan kehilangan kepercayaan pada sistem pertanahan kita,” tegas Susanto.
Putusan ini berpotensi menciptakan efek domino yang merugikan pemilik tanah sah lainnya. Jika SHM—yang seharusnya menjadi bukti kepemilikan tertinggi—bisa digugurkan begitu saja, maka tidak ada jaminan hukum bagi rakyat kecil.
Di sisi lain, kasus ini juga mempertanyakan peran BPN. Jika PTUN bisa membatalkan SHM dengan mudah, apakah selama ini proses penerbitan sertifikat oleh BPN cacat hukum? Atau ada intervensi pihak tertentu di balik putusan ini?
Jonko dan tim hukumnya telah menyiapkan strategi banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Jakarta. Mereka akan mengajukan bukti-bukti baru, termasuk:
- Dokumen waris lengkap yang sudah disahkan notaris.
- Catatan historis kepemilikan tanah sejak era almarhum Halim Sumanto (ayah Jonko).
- Rekaman ketidakhadiran penggugat di persidangan sebagai dasar gugatan tidak berdasar.
“Kami juga akan mendorong Komisi Yudisial (KY) untuk mengawasi proses banding ini. Ini bukan cuma perjuangan Jonko, tapi ujian bagi hukum Indonesia,” papar Susanto.
Kasus Jonko Pranoto telah menyedot perhatian publik, terutama di kalangan pemilik tanah dan aktivis hukum. Banyak yang mempertanyakan: Siapa sebenarnya di balik gugatan ini? Mengapa PTUN begitu cepat mengabulkan klaim tanpa bukti kuat?
“Kami berharap pemerintah, dalam hal ini Menteri ATR/BPN, turun tangan. Jangan sampai kasus ini jadi contoh buruk bagi penegakan hukum agraria,” harap Jonko.
Kasus pembatalan SHM Jonko Pranoto bukan sekadar sengketa tanah biasa, melainkan ujian kredibilitas hukum agraria Indonesia. Jika putusan seperti ini dibiarkan, rakyat akan kehilangan kepercayaan pada sertifikat sebagai bukti kepemilikan sah.
“Hukum harusnya seperti pisau: tajam ke bawah untuk melindungi yang lemah, bukan tumpul ke atas untuk mengorbankan yang benar,” gumam Jonko, masih memegang erat sertifikat yang kini digugat.
- Dipublikasi Pada 6 Mei 2025
- Baru Saja di Update Pada Mei 6, 2025
- Temukan Kami di Google News
Konten ini disempurnakan menggunakan Kecerdasan Buatan (AI).
