Infosurabaya I Jakarta – Kekhawatiran terhadap potensi pemutusan hubungan kerja (PHK) massal di tubuh PT Gudang Garam Tbk mendapat sorotan tajam dari anggota DPD RI asal Jawa Timur, Lia Istifhama. Ia menilai, ancaman ini bukan sekadar isu internal industri rokok, tetapi menyentuh langsung aspek kesejahteraan jutaan tenaga kerja dan petani tembakau di Indonesia.
“Kalau benar terjadi PHK massal, ini bukan kabar baik. Bukan hanya soal industri, tapi juga soal perut masyarakat,” ujar Ning Lia, sapaan akrabnya, dalam keterangan resmi, Senin (8/9/2025).
Menurut Ning Lia, dua faktor utama yang memicu krisis ini adalah keterbatasan pasokan tembakau dan kenaikan tarif cukai rokok yang kian memberatkan industri. Ia menekankan bahwa kombinasi keduanya bisa menciptakan efek domino terhadap daya saing industri hasil tembakau (IHT), bahkan mengancam keberlangsungan ekosistemnya secara keseluruhan.
“Kita bicara bukan hanya soal PHK, tapi juga dampaknya terhadap Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT). Kalau industri tertekan, otomatis DBHCHT ikut menurun,” tegasnya.
Ning Lia mengapresiasi kenaikan alokasi DBHCHT dari 2 persen menjadi 3 persen sebagaimana diatur dalam UU Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD). Namun, menurutnya, angka tersebut masih jauh dari cukup.
“Idealnya DBHCHT dinaikkan minimal menjadi 5 persen. Itu bisa digunakan untuk menjamin kesejahteraan petani tembakau, seperti perlindungan gagal panen, modernisasi alsintan, hingga peningkatan kualitas produksi,” ujarnya.
Ia juga mempertanyakan apakah penurunan produksi di Gudang Garam benar-benar disebabkan menurunnya permintaan pasar, atau ada faktor lain seperti minimnya inovasi produk yang tak lagi sesuai dengan tren konsumen masa kini.
“Kalau demand rokok masih tinggi, seharusnya produksi tetap jalan. Jangan-jangan, masalahnya ada pada strategi produk dan harga yang terlampau tinggi akibat cukai,” tambahnya.
Ning Lia menutup pernyataannya dengan desakan agar pemerintah pusat segera turun tangan. Menurutnya, industri rokok bukan hanya penopang ekonomi nasional, tapi juga menyerap jutaan tenaga kerja dari hulu ke hilir.
“Ini bukan soal satu perusahaan. Kalau industri ini kolaps, dampaknya ke petani, buruh linting, distribusi, bahkan penerimaan negara. Pemerintah harus punya rencana pemulihan yang nyata,” pungkasnya.(Ne)
- Dipublikasi Pada 8 September 2025
- Baru Saja di Update Pada September 8, 2025
- Temukan Kami di Google News
Konten ini disempurnakan menggunakan Kecerdasan Buatan (AI).
