Infosurabaya I Surabaya – Kasus dugaan malpraktik medis yang menewaskan Bagas Priyo (20) di RS Siti Hajar, Sidoarjo, pada 20 Oktober 2024 lalu, memasuki babak baru yang penuh ketidakpastian.
Polresta Sidoarjo, yang menangani laporan keluarga korban, mengindikasikan akan menghentikan penyidikan dengan mengeluarkan Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3). Keputusan ini menimbulkan kekecewaan mendalam bagi keluarga korban dan kuasa hukumnya.
Bagas, warga Sepande, Sidoarjo, meninggal dunia setelah menjalani operasi pengangkatan amandel di RS Siti Hajar. Kuasa hukum keluarga, Muhammad Nainul Anami, dari LBH Nurani Surabaya, mengungkapkan sejumlah kejanggalan.
Baca Juga : Kedokteran Unusa Raih Akreditasi Unggul Miliki Rumah Sakit Sendiri untuk Praktik
Ia menuturkan, Bagas diberi makan beberapa jam sebelum operasi, melanggar prosedur standar operasi yang mengharuskan pasien berpuasa. Lebih lanjut, keluarga korban juga menyatakan tidak pernah memberikan persetujuan tertulis untuk operasi tersebut.
“Kami menduga adanya kelalaian dan penyimpangan prosedur operasional standar (SOP) yang menyebabkan kematian Bagas,” ujar Nainul kepada infosurabaya.com, saat dijumpai di Surabaya, Selasa (29/7/2025) petang.
“Operasi yang seharusnya sederhana, justru berujung pada kematian,” tambahnya.
Laporan polisi yang diajukan keluarga korban pada Oktober 2024 hingga kini belum membuahkan hasil. Penyidik Polresta Sidoarjo menyatakan belum memiliki bukti cukup untuk melanjutkan penyidikan. Nainul membantah pernyataan tersebut, menegaskan bahwa pihaknya telah dan siap memberikan bukti-bukti yang diperlukan, namun hingga kini belum ada koordinasi yang memadai dari pihak penyidik.
Ancaman penerbitan SP3 telah membuat keluarga korban kecewa dan bertekad untuk memperjuangkan keadilan. Nainul menyatakan akan menempuh jalur hukum praperadilan jika SP3 tetap dikeluarkan. Ia juga menegaskan akan melaporkan tindakan tersebut sebagai tindak kejahatan jika SP3 dikeluarkan di luar batas waktu yang ditentukan.
“Kami berharap kasus ini diselesaikan secara adil dan transparan. Ini bukan hanya tentang keadilan bagi Bagas, tetapi juga tentang pengawasan praktik kedokteran di Sidoarjo dan menjadi pembelajaran bagi rumah sakit lainnya,” tegas Nainul.
Kasus ini telah menjadi perbincangan hangat di masyarakat Sidoarjo dan Surabaya, menimbulkan pertanyaan besar mengenai pengawasan dan akuntabilitas praktik medis di wilayah tersebut. Kejelasan dan transparansi dalam proses hukum sangat diharapkan untuk mencegah kejadian serupa di masa mendatang.(Kdm)
- Dipublikasi Pada 30 Juli 2025
- Baru Saja di Update Pada Juli 30, 2025
- Temukan Kami di Google News
Konten ini disempurnakan menggunakan Kecerdasan Buatan (AI).
