Infosurabaya I Surabaya – Insiden ambruknya bangunan pondok pesantren Al-Khoziny yang menelan korban jiwa dan luka-luka dapat memicu konsekuensi hukum serius, baik pidana maupun perdata.
Hal ini ditegaskan oleh pakar hukum Universitas Muhammadiyah Surabaya (UMSurabaya), Satria Unggul Wicaksana, menanggapi serangkaian peristiwa runtuhnya bangunan ponpes di berbagai daerah.
Menurut Satria, pertanggungjawaban hukum dapat dikenakan kepada beberapa pihak, tergantung hasil penyelidikan dan temuan teknis di lapangan.
“Pihak yang paling mungkin dimintai pertanggungjawaban meliputi pimpinan atau pemilik pesantren, kontraktor pelaksana, serta konsultan perencana dan pengawas,” jelasnya saat dikonfirmasi pada Kamis (9/10/2025) malam.
Ia merinci, pimpinan pondok pesantren sebagai inisiator pembangunan memikul tanggung jawab utama terkait kelayakan dan perizinan bangunan. Kelalaian dalam pengurusan izin resmi seperti Izin Mendirikan Bangunan (IMB) atau Persetujuan Bangunan Gedung (PBG), serta pengabaian standar keselamatan, dapat dianggap sebagai bentuk kelalaian hukum.
Selain itu, pelaksana konstruksi atau kontraktor juga dapat dimintai pertanggungjawaban apabila ditemukan kesalahan teknis, perhitungan struktur yang keliru, atau penggunaan material di bawah standar yang ditetapkan. Demikian pula konsultan perencana dan pengawas bisa dikenai sanksi jika terbukti lalai dalam perencanaan atau pengawasan mutu pekerjaan konstruksi.
Satria menuturkan, unsur pidana akan muncul bila kelalaian konstruksi tersebut menyebabkan jatuhnya korban jiwa atau luka-luka. “Kasus seperti ini termasuk delik umum, artinya pihak kepolisian dapat langsung melakukan penyelidikan tanpa harus menunggu laporan resmi,” tegasnya.
Beberapa pasal yang berpotensi diterapkan antara lain Pasal 359 KUHP tentang kelalaian yang menyebabkan kematian, Pasal 360 KUHP tentang kelalaian yang menyebabkan luka berat atau ringan, serta Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, khususnya Pasal 46 ayat 3 dan Pasal 47 ayat 2 yang mengatur pelanggaran persyaratan teknis bangunan.
Di samping aspek pidana, aspek perdata juga dapat diberlakukan melalui gugatan ganti rugi oleh keluarga korban terhadap pihak yang dianggap lalai. “Dasar gugatan perdata dapat mengacu pada Pasal 1365 KUHPerdata tentang Perbuatan Melawan Hukum (PMH),” ujar Satria. Ganti rugi ini mencakup kerugian materiil seperti biaya pengobatan, pemakaman, hingga kerugian ekonomi, serta kerugian immateriil berupa penderitaan mental dan psikologis yang dialami korban dan keluarganya.
Satria menambahkan, penetapan pihak yang bertanggung jawab secara hukum harus melalui penyelidikan menyeluruh oleh kepolisian dengan dukungan tim ahli teknik sipil dan konstruksi.
“Penyelidikan harus memastikan penyebab pasti ambruknya bangunan, ada tidaknya izin bangunan, serta bagaimana sistem pengawasan selama proyek berlangsung,” jelasnya.
Ia menekankan pentingnya kepatuhan terhadap regulasi pembangunan gedung dan prinsip kehati-hatian agar peristiwa serupa tidak terulang di masa mendatang. “Keselamatan publik harus menjadi prioritas utama. Kegagalan bangunan bukan hanya persoalan teknis, tapi juga tanggung jawab moral dan hukum yang harus ditegakkan,” pungkasnya.(Kdm)
- Dipublikasi Pada 10 Oktober 2025
- Baru Saja di Update Pada Oktober 10, 2025
- Temukan Kami di Google News
Konten ini disempurnakan menggunakan Kecerdasan Buatan (AI).
