Blusukan ke Pasar Blauran, Anggota DPR BHS Temukan Harga Telur Anjlok tapi Minyak Goreng Masih Bandel!

Infosurabaya.com – Anggota Komisi VII DPR RI Bambang Haryo Soekartono (BHS) memilih blusukan ke Pasar Blauran Surabaya sebagai lokasi pemantauan harga sembako jelang Idul Fitri 2025. Kunjungan kerja ini mengungkap fakta menarik sekaligus memprihatinkan tentang dinamika harga kebutuhan pokok di pasar tradisional.

Di antara keriuhan pasar yang mulai ramai dipadati pembeli jelang Lebaran, BHS menemukan harga telur ayam ras hanya Rp26.000 per kilogram. Angka ini jauh lebih rendah dibanding pasar-pasar lain di Surabaya yang masih bertahan di kisaran Rp30.000 per kilogram. Fenomena harga telur yang terjangkau ini tentu menjadi angin segar bagi masyarakat kelas menengah ke bawah yang sedang mempersiapkan kebutuhan hari raya.

Namun, cerita berbeda justru terjadi pada komoditas minyak goreng curah. Meski pemerintah telah menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) sebesar Rp16.500 per liter, di Pasar Blauran minyak goreng masih bandel dijual seharga Rp17.500 per liter. Para pedagang mengaku hanya mengambil untung tipis Rp1.000 per liter karena harga beli dari supplier memang sudah tinggi.

Tak hanya fokus pada harga sembako, BHS juga menyoroti kondisi infrastruktur Pasar Blauran yang memerlukan perhatian serius. Yang membuatnya terkejut, alat pemadam kebakaran di pasar tersebut ternyata sudah kedaluwarsa sejak tahun 2016. Padahal, pasar ini setiap hari dikunjungi ribuan orang dan menjadi pusat perputaran uang yang cukup besar.

Masalah lain yang tak kalah serius adalah kondisi plafon pasar yang sudah rapuh dan dikhawatirkan bisa roboh kapan saja. BHS langsung menegur pengelola pasar melalui PD Pasar Surya untuk segera mengajukan proposal renovasi ke Pemerintah Kota Surabaya. Sebagai langkah cepat, politisi dari Fraksi Gerindra ini bahkan sempat mengisi ulang tiga unit alat pemadam kebakaran secara mandiri.

Pantauan langsung anggota DPR ini terjadi di momen yang cukup krusial, yaitu sebulan sebelum Lebaran 2025. Periode ini biasanya ditandai dengan lonjakan permintaan sembako hingga 40% dibanding hari biasa. BHS menekankan pentingnya pengawasan ketat terhadap rantai pasokan minyak goreng, terutama di tingkat supplier dan distributor.

Di sisi lain, stabilitas harga telur yang cukup baik di Pasar Blauran patut diapresiasi. Namun, BHS mengingatkan bahwa fluktuasi harga sembako jelang Lebaran seringkali tidak merata di semua pasar. Perbedaan harga antar wilayah ini perlu menjadi perhatian khusus pemerintah daerah dalam menetapkan strategi stabilisasi harga.

Di penghujung kunjungan, BHS tak lupa menyempatkan diri berinteraksi langsung dengan para pedagang. Politikus yang dikenal dekat dengan kalangan usaha kecil ini bahkan membagikan bantuan tali asih sebagai bentuk kepedulian terhadap pelaku ekonomi pasar tradisional.

“Pasar tradisional adalah nadi perekonomian rakyat. Di sini lah denyut kehidupan ekonomi masyarakat kecil benar-benar terasa,” ujar BHS sambil bersalaman dengan seorang pedagang sayur yang sudah puluhan tahun berjualan di Pasar Blauran.

Fenomena ketidakstabilan harga sembako, terutama minyak goreng, sebenarnya bukan hal baru di Indonesia. Setiap tahun, terutama menjelang hari-hari besar keagamaan, pola yang sama selalu terulang. Permintaan yang melonjak seringkali tidak diimbangi dengan pasokan yang memadai, apalagi ditambah dengan praktik penimbunan oleh oknum tertentu.

Kasus di Pasar Blauran ini menjadi contoh nyata bagaimana mekanisme pasar seringkali lebih kuat dibanding regulasi pemerintah. Meski HET minyak goreng sudah ditetapkan, pada praktiknya harga di tingkat konsumen akhir bisa berbeda karena berbagai faktor, termasuk biaya distribusi dan margin keuntungan tiap rantai pasokan.

Kondisi infrastruktur pasar yang memprihatinkan juga turut mempengaruhi dinamika harga. Pasar dengan fasilitas yang kurang memadai cenderung memiliki biaya operasional lebih tinggi, yang pada akhirnya bisa berdampak pada harga jual barang. Ini menjadi pekerjaan rumah bersama bagi pemerintah daerah, pengelola pasar, dan tentunya para pedagang itu sendiri.

Ketidakstabilan harga sembako, terutama di periode penting seperti menjelang Lebaran, memiliki dampak sosial yang cukup serius. Kenaikan harga beberapa komoditas kunci bisa menggerus daya beli masyarakat, khususnya mereka yang berpenghasilan tetap. Di sisi lain, pedagang kecil juga sering terjepit antara tekanan harga dari supplier dan tuntutan konsumen yang menginginkan harga murah.

Kondisi Pasar Blauran yang representatif ini seharusnya menjadi perhatian serius bagi pemerintah daerah Surabaya. Revitalisasi pasar tradisional bukan hanya tentang memperbaiki fisik bangunan, tapi juga tentang menciptakan sistem distribusi yang lebih efisien dan pengawasan harga yang lebih ketat.

Berdasarkan temuan di lapangan, setidaknya ada tiga hal mendesak yang perlu segera ditindaklanjuti.

Pertama, penguatan sistem pengawasan HET oleh Satgas Pangan perlu dioptimalkan, terutama di tingkat supplier dan distributor. Kedua, percepatan revitalisasi pasar tradisional harus menjadi prioritas anggaran Pemkot Surabaya. Ketiga, edukasi kepada pedagang tentang pentingnya menjaga kualitas pelayanan tanpa harus menaikkan harga di luar ketentuan.

Pantauan anggota BHS ini diharapkan bisa menjadi trigger bagi perbaikan sistem distribusi sembako nasional, khususnya dalam menghadapi momen-momen penting seperti Lebaran. Dengan koordinasi yang baik antara pemerintah pusat, daerah, dan pelaku usaha, stabilitas harga sembako jelang hari raya bukanlah hal yang mustahil untuk diwujudkan.