infoSurabaya | Surabaya – Jonko Pranoto pemilik sah tanah 9.460 meter persegi di daerah Trawas, Mojokerto, Jawa Timur benar-benar kecewa dan bertekat terus mencari keadilan, meski langit akan runtuh. Betapa tidak, kekecewaan ini muncul di benak Jonko, karena Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Surabaya, mengabulkan gugatan yang dilayangkan Tutik Munawaroh dan Anifah kepadanya.
Sertifikat Tanah SHM Seluas 9.460 Meter yang resmi dikeluarkan oleh Badan Pertnahan Nasional Mojokerto, dianggap tidak sah dan tak ada gunannya. Menyusul putusan hakim yang mengabulkan gugatan, penggugat yang hanya memiliki bukti berupa Akta Jual Beli (AJB) dan petok. Dalam putusan Nomor 153/G/2024/PTUN.SBY, majelis hakim memutuskan untuk membatalkan Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 125 atas nama Jonko Pranoto.
Padahal, Jonko mengantongi sertifikat SHM tanah tersebut sejak tahun 1997. Karena itu, Jonko berharap pemerintah pusat memperhatikan kasus ini. Dia akan mengajukan banding terhadap putusan PTUN yang dinilai janggal tersebut.
Ditemui di kantor advokat Prof.Dr Soenarno Edy Wibowo di kawasan Rungkut Barata Surabaya, Selasa pagi, Jongko bersama pendamping hukumnya, Susanto mengungkapkan kekesalannya. Dia bersama Susanto, mengadukan keluh kesahnya terkait permasalahan tanah yang menimpanya. Bagaimana tidak, dia yang memiliki secara sah tanah di Desa Duyung, kecamatan Trawas kabupaten Mojokerto Jawa Timur, seluas 9.460 hektar dibatalkan oleh Pengadilan PTUN Surabaya, atas gugatan Tutik Munawaroh dan Anifah.
“Saya ini memiliki sertifikat SHM atas kepemilikan tanah di Trawas itu sejak tahun 1997. Yang saya heran mengapa PTUN membatalkan ini. Padahal sertifikat ini diterbitkan oleh pemerintah melalui BPN. Saya mengurus surat ini secara resmi dan prosedural sesuai dengan aturan hukum negara,” terang Jonko.
Susanto adalah saksi fakta, yang mendampingi Jonko ke kantor Sunarno menimpali, bahwa dirinya merasa ada yang tidak beres dengan putusan PTUN yang mengabulkan gugatan tersebut.
“Saya menilainya ada yang janggal dengan putusan PTUN ini. Pak Jonko ini memiliki sertifikat sah (SHM) sejak lama (tahun 1997), tapi tiba-tiba dibatalkan oleh PTUN. Karena itu, kami mencari keadilan atas kepemilikan tanah ini,” sambung Susanto.
Awalnya, objek sengketa lahan seluas 9.460 meter persegi di Desa Duyung, Kecamatan Trawas, Kabupaten Mojokerto ini, dibeli oleh almarhum Halim Sumanto sejak tahun 1997, dengan status SHM. Kemudian, diwariskan kepada anaknya, Jonko Pranoto, pada tahun 2022 dan dibaliknama atas namanya.
Namun, pada tahun 2023, muncul klaim kepemilikan sepihak dari Antonius Rusli, yang mengaku membeli lahan tersebut dari seseorang bernama Kasman, yang diduga merupakan ahli waris dari Munajat, pembeli tanah dari Tutik Munawaroh.
Tutik Munawaroh dan Anifah, melalui kuasa hukumnya Eman Mulyana, menggugat Badan Pertanahan Nasional (BPN) Mojokerto karena menerbitkan SHM atas nama Jonko Pranoto. Dan putusan PTUN Surabaya pun telah digedok dengan mengabulkan gugatan Tutik.
Jonko masih merasa kecewa atas putusan PTUN tersebut. Jonko menegaskan, SHM yang dimilikinya sah dan diperoleh melalui proses waris yang telah disahkan oleh notaris. Ia juga menyatakan bahwa selama proses persidangan, pihak penggugat tidak pernah hadir, baik dalam sidang di pengadilan maupun saat pemeriksaan setempat. Padahal pihaknya bersma BNP telah memaparkan puluhan bukti-bukti otentik, riwayat tanah ini, namun semuanya tak dijadikan pertimbangan oleh hakim.
“Seharusnya, ketika penggugat mengajukan gugatan, pihak waris dipanggil untuk klarifikasi. Namun, dalam persidangan, mereka tidak pernah hadir. Saya benar-benar mereka tidak hadir mengikuti persidangan, ada apa dengan ini semua? Ini terus menjadi pertanyaan besar bagi saya, seolah olah semuanya sudah diatur, kalau saya kalah dalam perkara ini.” ujarnya.
Jonko dan Susanto juga menyampaikan harapannya agar masyarakat memahami situasi yang dihadapinya dan meminta keadilan atas pembatalan sertifikat yang telah dimilikinya sejak tahun 1997.
“Saya berharap masyarakat memahami kasus yang saya alami ini. Mengapa saya yang memiliki sertifikat SHM atas tanah tersebut bisa dibatalkan oleh PTUN, padahal sertifikat ini bukti kepemilikan tertinggi yang diakui oleh pemerintah. Jadi tidak ada jaminan bagi warga meskipun memiliki surat SHM, tapi pada kenyataannya bisa lepas karena dibatalkan PTUN,” tukas Susanto.
“Kami juga berharap kepada pemerintahan Prabowo Subianto untuk memperhatikan kasus (tanah) yang dialami oleh warganya ini sungguh menjadi preseden buruk bagi penegakan dan keadilan hokum. Kami akan mencari keadilan untuk mempertahankan hak kepemilikan tanah, dengan mengajukan banding atas putusan janggal ini,” ujarnya.
Putusan PTUN Surabaya ini menimbulkan polemik, terutama karena SHM yang dibatalkan telah terbit sejak tahun 1997, sedangkan dasar klaim penggugat hanya berupa Akta Jual Beli (AJB) dan petok.
Sengketa ini menjadi perhatian publik karena menyangkut keabsahan sertifikat tanah dan proses penerbitannya oleh BPN, serta pentingnya keterlibatan pihak desa dalam proses tersebut. Sementara itu, pihak PTUN Surabaya belum bisa dikonfiramasi terkait putusan kasus sengketa tanah yang dinilai janggal tersebut.(bro)
- Dipublikasi Pada 6 Mei 2025
- Baru Saja di Update Pada November 20, 2025
- Temukan Kami di Google News
Konten ini disempurnakan menggunakan Kecerdasan Buatan (AI).
