infoSurabaya | Surabaya-Menjadi petugas Haji adalah tugas luar biasa. Betapa tidak, selain berhaji, juga melayani para tamu Allah, menjadi tugas utama yang mulia. Tugas ini, menuntut ketulusan, ketangguhan, dan kesiapan mental dalam menjalani dinamika pelayanan di Tanah Suci yang saat ini berbeda dengan musim Haji tahun sebelumnya.
Dimana, ditahun 2025 atau 1446 H, sistem Haji, tak menggunakan lagi pembagian jemaah Haji per kloter sesuai kabupaten dan kota, melainkan dengan system 8 syarikah.
Akibatnya, selama di Arab Saudi, jemaah Kloter SUB 16 harus tinggal terpencar di 19 hotel, yang tersebar dalam 6 sektor dan 4 wilayah. Kondisi ini membuat petugas harus melakukan visitasi harian lintas lokasi untuk memastikan jemaah tetap mendapatkan pendampingan.
Hal ini. dirasakan langsung oleh Ahmad Allauddin, Ketua Kloter SUB 16 Embarkasi Surabaya, yang membagikan kisah perjuangannya selama mendampingi jemaah haji tahun ini.
“Melayani ribuan jemaah Haji tidaklah mudah, ini perjuangan,” ujar Allauddin saat menceritakan pengalamannya di sela-sela kepulangan jemaah ke Asrama Haji Debarkasi Surabaya, Senin (16/6).
Ia bersama pembimbing ibadah dan dokter kloter setiap hari mendatangi hotel-hotel tempat jemaah menginap. Dari satu wilayah ke wilayah lain, ia harus berjalan kaki dari terminal ke terminal.
Salah satu tantangan dalam proses penyelenggaraan ibadah haji tahun ini adalah distribusi kartu nusuk yang dilakukan secara minim koordinasi.
Pria yang sehari-hari menjadi Ketua Tim Humas, Protokol, dan Sistem Informasi Kanwil Kemenag Provinsi Jawa Timur ini mengungkapkan, pembagian nusuk dilakukan oleh pihak syarikah sejak di Madinah tanpa pemberitahuan kepada sektor maupun petugas kloter.
“Distribusi dilakukan malam hari di lobi hotel. Karena jemaah tersebar, banyak yang kesulitan menerima. Meski menjelang Armuzna akhirnya terdistribusi, ada yang belum menerima secara fisik, namun tetap bisa berangkat karena telah mengunduh aplikasi nusuk,” jelasnya.
Koordinasi yang minim membuat sektor memanggil ketua kloter untuk turut mengatur proses distribusi yang semestinya bisa lebih tertib dan terpusat.
Tantangan lain datang dari fase Armuzna. Allauddin menjelaskan bahwa selama masa puncak ibadah, pengelompokan jemaah dilakukan berdasarkan khalifah, bukan lagi kloter. Hal ini menuntut petugas untuk mengumpulkan jemaah dari berbagai kloter dan hotel yang sebelumnya tidak saling mengenal.
Di sisi transportasi, bus dari Muzdalifah ke Mina sebenarnya tersedia. Namun, banyak jemaah memilih berjalan kaki akibat lalu lintas padat, yang justru memperlambat pergerakan kendaraan.
“Alhamdulillah, meskipun macet dan cukup menantang, seluruh jemaah kami berhasil sampai di Mina sebelum pukul 10 pagi,” ungkapnya.
Menyikapi isu yang menyebut adanya petugas yang memanfaatkan tugas untuk berhaji pribadi, Allauddin memberikan penjelasan yang tegas dan terbuka.
“Saya hanya melakukan umrah sunah dua kali. Kalau ingin lebih, saya bisa. Tapi saya memilih fokus melayani. Waktu saya lebih baik digunakan untuk memastikan jemaah kami dalam kondisi aman dan nyaman,” ujarnya.
Di balik berbagai tantangan yang dihadapi, Allauddin juga merasakan kebahagiaan dan rasa syukur selama menjalankan tugas. Ia merasa terharu saat bisa menemui jemaah di hotel-hotel yang tidak memiliki petugas kloter sama sekali.
“Dukanya, harus terpisah dari jemaah di banyak tempat. Sukanya, ketika melihat jemaah merasa terlayani dan dilindungi, meskipun mereka bukan dari kloter kami,” tuturnya.
Ahmad Allauddin dan para jemaah Kloter SUB 16 telah tiba kembali di tanah air dalam keadaan sehat dan selamat. Kisahnya menjadi cerminan dedikasi tinggi para petugas haji Indonesia yang menjalankan amanah dengan penuh integritas, profesionalisme, dan semangat pengabdian.(bro)
- Dipublikasi Pada 19 Juni 2025
- Baru Saja di Update Pada Juni 19, 2025
- Temukan Kami di Google News
Konten ini disempurnakan menggunakan Kecerdasan Buatan (AI).
