infoSurabaya |Surabaya – Penyadang disorientasi seksual, tidak mudah untuk disembuhkan untuk kembali normal, namun bisa untuk ditekan melalui rehabilitasi dengan bantuan lingkungan sekitar dengan penguatan moral , mental dan religius. Sehingga para LGBT butuh bantuan agar bisa menjauhkan diri dari kegiatannya yang menyimpang.
Hal ini, diungkapkan oleh pakar psikologis , dr. Dewi Ilma Antawati, seorang dekan Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surabaya , kamis siang.
Menurutnya, menanggapi kasus pesta seks sesama jenis, yang digerebek Polrestabes Surabaya, dan berhasil mengamaknkan 34 pria LGBT. Selain menjalani proses hukum, 34 pria yang telah ditetapkan tersangka ini, akan dikonsulkan ke psikiter diharapkan menjadi bisa normal kembali. Sehingga peristiwa pesta seks sejenis tak terulang lagi.
Langkah polisi ini, cukup baik. Namun , untuk membuatnya kembali normal, membutuhkan usaha rehbilitasi dan dukungan dari berbagi pihak, seperti dari lingkungan keluarga, ahli jiwa, hingga rohaniawan. Karena , untuk bisa keluar dari prilaku menyimpang ini, harus didasari dari niat penyadang disorientasi seksual itu sendiri.
Kasus pesta seks sesama jenis dinilai bukan hanya sekadar pelanggaran hukum atau moral, tetapi juga mencerminkan masalah serius dalam perilaku seksual berisiko. Apalagi kegiatan ini sudah berlangsung sebanyak 8 kali dan peminatnya terus bertambah.
Para peserta pesta rata rata berusia antara 20 tahun hingga 30 tahun dan masih bujang. Mereka berstatus ASN, pengusaha, karyawan hingga mahasiswa, dan berasal dari berbagai wilayah sekitar Surabaya.
Fenomena ini, dikenal dalam literatur psikologi sebagai sexual encounter group, yakni pertemuan seksual yang melibatkan lebih dari dua orang dalam satu kegiatan.
“Grup seksual encounter itu punya banyak faktor penyebab, tidak hanya sosial, tapi juga psikologis,” jelasnya.
Ia menyebut sedikitnya ada lima faktor utama yang mendorong perilaku tersebut.
“Pertama, ada dorongan mencari sensasi, keinginan untuk mendapatkan pengalaman yang berbeda. Kedua, pada kelompok homoseksual, muncul kebutuhan untuk diterima karena di masyarakat kita perilaku ini tidak diterima secara moral maupun hukum. Jadi mereka mencari kelompok yang bisa menerima keberadaannya,” ujarnya.
Selain faktor psikologis, Dewi juga menyoroti adanya luka batin, stres, hingga krisis identitas sebagai pemicu. “Banyak dari mereka yang mengalami luka batin atau merasa berbeda dari laki-laki lainnya. Saat menemukan orang dengan pengalaman serupa, mereka merasa diterima dan akhirnya terbentuklah kelompok tersebut,” tambahnya.
Dari sisi psikososial, kemunculan komunitas daring yang membahas perilaku menyimpang turut memperburuk keadaan. “Kita bahkan menemukan grup media sosial yang membahas topik hubungan seksual dengan keluarga sendiri. Artinya, akses ke komunitas semacam ini semakin terbuka,” jelas Dewi.
Ia menambahkan, pengaruh media, seperti tontonan film yang menormalisasi perilaku seksual menyimpang termasuk genre Boys Love dan Girls Love, membuat sebagian orang menganggap perilaku tersebut sebagai hal biasa.
Selain itu, menurut Dewi, kemudahan akses teknologi dan ruang privat seperti hotel juga menjadi faktor pendukung terjadinya perilaku tersebut.
“Tempat yang tertutup dianggap bebas dari penilaian masyarakat, padahal justru menjadi ruang aman bagi perilaku berisiko,” tegasnya.
Lebih jauh, Dewi menilai lemahnya nilai religiusitas dan pendidikan moral turut memperparah situasi. Ia mendorong adanya penanganan multidisipliner melalui empat tahap: promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
“Langkah promotif dilakukan lewat pendidikan karakter dan edukasi perilaku seksual sehat. Preventifnya melibatkan guru dan orang tua sebagai tempat bercerita yang aman bagi anak. Kalau sudah terjadi, maka perlu pendekatan kuratif dengan melibatkan medis dan psikolog, serta psikiater untuk mengatasi perasaan bersalah atau rendah diri,” paparnya.
Tahap terakhir, rehabilitatif, menurutnya penting untuk membantu pelaku kembali diterima di masyarakat. “Stigma harus diantisipasi. Kita menyalahkan perilakunya, tapi bukan manusianya. Mereka tetap perlu dilihat sebagai manusia yang berharga,” ujarnya menegaskan.
Dewi menghimbau agar masyarakat tidak hanya bereaksi secara emosional, tetapi juga membangun sistem dukungan dan edukasi yang komprehensif. “Kasus ini seharusnya menjadi refleksi bersama, bahwa pendidikan nilai, moral, dan kesehatan mental perlu terus diperkuat sejak dini,” pungkasnya.(bro)
- Dipublikasi Pada 23 Oktober 2025
- Baru Saja di Update Pada November 20, 2025
- Temukan Kami di Google News
Konten ini disempurnakan menggunakan Kecerdasan Buatan (AI).
