Infosurabaya I Jakarta – Anggota DPD RI asal Jawa Timur, Lia Istifhama, menyampaikan keprihatinannya terhadap sistem Seleksi Penerimaan Murid Baru (SPMB) 2025 yang dinilai belum sepenuhnya berpihak pada peserta didik penyandang disabilitas.
Dalam rapat dengar pendapat umum Komite III DPD RI bertajuk “Optimalisasi Sistem Zonasi PPDB Guna Pemerataan Pendidikan yang Berkualitas dalam Rangka Ketahanan Nasional” yang digelar di Kompleks Parlemen Senayan, Selasa (26/8/2025).
Lia menyoroti pengaturan kuota jalur domisili yang menurutnya bisa berdampak negatif terhadap siswa berkebutuhan khusus (ABK).
“Permendikdasmen No. 3 Tahun 2025 memang mengatur minimal 30 persen untuk jalur domisili SMA. Tapi dalam praktiknya, ada daerah yang menaikkan hingga 35 persen. Ini tentu bisa mengurangi alokasi untuk jalur afirmasi, padahal itulah satu-satunya jalur bagi siswa disabilitas untuk mengakses pendidikan menengah,” ujar Lia yang akrab disapa Ning Lia.
Ia menegaskan bahwa sebagian besar daerah tidak memiliki jalur domisili khusus untuk penyandang disabilitas. Akibatnya, mereka hanya bisa mengandalkan jalur afirmasi yang jumlahnya pun sangat terbatas—bahkan di beberapa daerah, hanya sebesar 3 persen dari total kuota sekolah.
“Pendidikan inklusif tidak boleh hanya menjadi slogan. Realisasinya harus menjamin ruang yang cukup dan adil bagi anak-anak disabilitas, baik di sekolah umum yang inklusif maupun di SLB,” tegas Lia.
Baca Juga : Senator Lia Istifhama Desak Evaluasi Kuota SPMB 2025 untuk Keadilan Siswa Difabel
Senator asal Jawa Timur ini juga mendorong agar pemerintah pusat dan daerah melakukan evaluasi total terhadap sistem distribusi kuota SPMB. Menurutnya, prinsip keadilan dan perlindungan terhadap kelompok rentan harus menjadi fokus utama dalam kebijakan pendidikan.
Ia bahkan mengusulkan agar kuota afirmasi bagi siswa disabilitas ditingkatkan, minimal di atas 3 persen, mengingat meningkatnya kebutuhan layanan inklusi di berbagai wilayah Indonesia.
“Kebijakan pendidikan tidak boleh menempatkan siswa difabel sebagai kelompok marginal. Negara harus hadir dan memberi perlindungan penuh, sesuai amanat konstitusi,” imbuhnya.
Pernyataan Lia turut diperkuat oleh pengalaman langsung dari masyarakat. Muhammad, salah satu wali murid, mengungkapkan betapa sulitnya mencari SMA atau SMK inklusi untuk keponakannya yang merupakan anak berkebutuhan khusus.
“Bayangkan, satu sekolah hanya menerima dua siswa difabel. Kadang di satu wilayah bahkan tidak ada sekolah inklusi sama sekali. Saya sendiri mengalami betapa susahnya mencarikan sekolah untuk keponakan saya setelah lulus SMP,” tuturnya.
Dengan berbagai tantangan tersebut, Lia berharap pemerintah segera meninjau ulang kebijakan SPMB 2025 agar lebih inklusif dan menjamin hak pendidikan yang setara bagi seluruh anak Indonesia, tanpa terkecuali.(Ne)
- Dipublikasi Pada 26 Agustus 2025
- Baru Saja di Update Pada Agustus 26, 2025
- Temukan Kami di Google News
Konten ini disempurnakan menggunakan Kecerdasan Buatan (AI).
