Infosurabaya.com – Dinas Kesehatan (Dinkes) surabaya/” title=”Kota Surabaya”>Kota Surabaya memperkuat strategi penanggulangan HIV/AIDS dengan memperluas layanan tes, mengoptimalkan peran Puskesmas, dan menggandeng komunitas peduli AIDS. Upaya ini dilakukan untuk menekan penularan sekaligus mempermudah akses pengobatan bagi warga berisiko.
Kepala kesehatan–surabaya/” title=”Dinas Kesehatan Surabaya”>Dinas Kesehatan Surabaya, Nanik Sukristina, mengatakan saat ini terdapat 126 titik layanan tes HIV yang tersebar di 63 Puskesmas, 62 rumah sakit, dan satu klinik utama. Pemeriksaan ditujukan bagi kelompok berisiko tinggi—mulai dari pekerja seks, pengguna narkoba suntik, LSL, hingga waria—serta kelompok wajib tes seperti ibu hamil, calon pengantin, dan pasien penyakit menular.
Selain memperluas layanan, Dinkes juga memperkuat kolaborasi dengan komunitas seperti Aliansi Surabaya Peduli AIDS (ASPA) dan kelompok pendamping sebaya untuk memperluas edukasi dan penjangkauan. “Kami bekerja erat dengan kelompok peduli HIV untuk edukasi dan pencegahan langsung di masyarakat,” ujar Nanik dalam keterangannya yang dikutip, Selasa (2/12/2025).
Nanik menjelaskan bahwa Puskesmas kini menjadi pusat layanan utama bagi Orang dengan HIV (ODHIV). Mulai dari deteksi dini, pengobatan, hingga distribusi obat Antiretroviral (ARV) dilakukan secara rutin.
Layanan ini juga telah terintegrasi dengan pemeriksaan lainnya, seperti PKG, pemeriksaan TBC, serta skrining untuk calon pengantin dan ibu hamil.
Edukasi turut menyasar kelompok remaja, calon pengantin, dan bumil. Kader kesehatan serta Karang Taruna diberi pelatihan terkait bahaya HIV dan narkoba agar dapat terlibat aktif dalam pencegahan di lingkungan masing-masing. Penyuluhan rutin juga dilakukan di sekolah-sekolah SMP dan SMA.
Upaya penanggulangan HIV di Surabaya disebut Nanik berlangsung melalui kerja sama banyak pihak, termasuk lintas Organisasi Perangkat Daerah (OPD), lembaga swadaya masyarakat, serta komunitas. Kolaborasi ini penting untuk pendampingan ODHIV, edukasi publik, sekaligus menjangkau kelompok berisiko yang sulit terdeteksi.
Namun, tantangan masih besar. Stigma dan diskriminasi membuat sebagian kelompok enggan memeriksakan diri. Mobilitas penduduk yang tinggi juga membuat banyak kasus terdeteksi di Surabaya, meski penderitanya bukan warga kota setempat. “Surabaya menjadi pusat rujukan di Indonesia Timur, sehingga banyak kasus tercatat di sini,” ujarnya.
Beberapa ODHIV juga mengalami putus obat karena efek samping atau kurangnya dukungan keluarga, sehingga memengaruhi keberhasilan pengobatan.
Sepanjang Januari–Oktober 2025, sekitar 52,48% kasus baru berasal dari warga luar Surabaya. Meski begitu, jumlah kasus HIV di kota ini tercatat turun 10,03% dibanding periode yang sama tahun lalu.
“Penurunan ini adalah hasil kerja keras banyak pihak. Kami terus berupaya menghilangkan stigma dan memastikan semua orang—warga maupun pendatang—mendapat layanan kesehatan terbaik,” kata Nanik.((Red))
- Dipublikasi Pada 2 Desember 2025
- Baru Saja di Update Pada Desember 2, 2025
- Temukan Kami di Google News
Konten ini disempurnakan menggunakan Kecerdasan Buatan (AI).
