Infosurabaya.com — Angka persalinan sesar di Indonesia terus menanjak. Di Kota Surabaya, tren ini bahkan berjalan beriringan dengan rendahnya praktik Vaginal Birth After Caesarean (VBAC). Di balik grafik medis tersebut, tersimpan persoalan yang lebih mendasar: perempuan kerap kehilangan ruang untuk terlibat dalam pengambilan keputusan atas proses persalinannya sendiri.
Kondisi itulah yang mendorong dosen Program Studi Kebidanan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga menginisiasi kelas ibu nifas yang dipadukan dengan Focus Group Discussion (FGD). Kegiatan ini digelar pada Minggu, 21 Desember 2025, di Tempat Praktik Mandiri Bidan (TPMB) Lita Anggraeni, Gunung Anyar, Surabaya.
Alih-alih sekadar forum edukasi, FGD tersebut dirancang sebagai ruang dengar. Para ibu nifas diminta menceritakan pengalaman persalinan mereka, termasuk tentang keputusan medis yang datang tiba-tiba, prosedur yang tidak selalu dipahami, hingga harapan yang jarang tercatat dalam rekam pelayanan kesehatan. “Banyak keputusan diambil cepat, tapi minim dialog,” ujar Ketua Tim Pengabdian Masyarakat, Sofia Al Farizi.
Menurutnya, pengalaman subjektif perempuan sering kali terpinggirkan dalam sistem pelayanan yang menempatkan otoritas medis sebagai pusat keputusan. Padahal, di berbagai negara, praktik birth plan telah menjadi instrumen penting dalam pelayanan maternitas. Dokumen ini memungkinkan perempuan menyampaikan preferensi persalinan, mulai dari metode kelahiran hingga dukungan emosional yang diinginkan.
“Sejumlah studi menunjukkan, birth plan berkontribusi meningkatkan angka persalinan normal dan menekan risiko kematian ibu,” tegas Sofia Al Farizi.
Ironisnya, di Indonesia, pendekatan tersebut belum terintegrasi secara luas. Padahal, birth plan dapat diterapkan di berbagai level fasilitas kesehatan, mulai dari praktik bidan mandiri, puskesmas, hingga rumah sakit tanpa memerlukan teknologi atau biaya besar.
Melalui pendekatan co-design, tim dosen Kebidanan Unair mencoba membalik logika lama pelayanan maternitas yang cenderung top-down. Ibu hamil dan ibu nifas diposisikan sebagai aktor nonprofesional yang memiliki pengetahuan berbasis pengalaman. “Bersama tenaga kesehatan, mereka merancang birth plan yang realistis dan kontekstual,” katanya.
Dengan pendekatan ini, birth plan tidak berhenti sebagai formulir administratif. Ia menjadi alat komunikasi, bahkan negosiasi antara perempuan dan tenaga kesehatan dalam proses klinis yang sering kali krusial dan emosional.
Inisiatif birth plan berbasis co-design tersebut diharapkan menjadi pintu masuk menuju pelayanan kebidanan yang benar-benar berpusat pada perempuan (woman-centered care). “Lebih dari sekadar menekan angka sesar, pendekatan ini berupaya mengembalikan satu hal yang kerap hilang dalam ruang bersalin, yaitu kendali perempuan atas tubuh dan pengalaman melahirkannya,” pungkasnya.
(Penulis: Sofia Al Farizi/Dosen Program Studi Kebidanan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga)
- Dipublikasi Pada 22 Desember 2025
- Baru Saja di Update Pada Desember 22, 2025
- Temukan Kami di Google News
Konten ini disempurnakan menggunakan Kecerdasan Buatan (AI).
