Infosurabaya.com – Ruang Cakra Pengadilan Tipikor Surabya kembali menjadi saksi bisu sidang lanjutan perkara dugaan korupsi proyek RPHU Lamongan. Majelis hakim pimpinan Ni Putu Sri Indayani, SH mendengarkan keterangan tiga saksi kunci tentang aliran dana mencurigakan proyek pembangunan Rumah Potong Hewan Unggas tersebut. Kesaksian ini menjadi titik krusial dalam mengungkap praktik penyimpangan proyek pemerintah yang diduga merugikan keuangan negara. Kamis, (26/6/2025).
Di bawah pandangan tajam JPU kasus korupsi, saksi Rio Dedik mengaku melakukan dua kali penyerahan dana terkait pelaksanaan proyek RPHU. “Saya diminta Bu Eka untuk mengurus pekerjaan proyek RPHU dan setelah selesai, saya serahkan Rp3,5 juta di ruangannya,” ujar Rio di hadapan majelis. Pengakuan ini langsung menciptakan atmosfer tegang di ruang persidangan.
Tak berhenti di situ, Rio melanjutkan kronologi aliran dana proyek dengan menyebut penyerahan Rp9 juta kepada Drs. Moch. Wahyudi selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Ia menjelaskan dana tersebut sebagai bentuk “fee” apresiasi untuk rekan dinas yang membantu. Namun ketika digali lebih dalam tentang kepastian penerimaan uang oleh terdakwa, kesaksian Rio justru mengambang.
Mendengar kesaksian itu, terdakwa Wahyudi bereaksi dengan penyangkalan tegas. “Saya tidak pernah menerima uang sepeser pun dari Rio. Bentuk uangnya saja saya tidak tahu,” sanggahnya dengan nada tinggi. Penolakan ini mempertegas konflik versi cerita yang menjadi jantung persidangan.
Pembelaan Wahyudi diamplifikasi kuasa hukumnya, Muhammad Ridlwan, SH yang menyatakan kliennya hanya dijadikan “tumbal”. “Posisi PPK hanya sebagai pengendali umum, bukan pelaksana teknis,” tegas Ridlwan didampingi Ainur Rofik. Argumen ini menyoroti potensi salah sasaran proses hukum dalam kasus tindak pidana korupsi ini.
Ridlwan tak segan mengkritik temuan audit BPK yang menyatakan kerugian negara Rp92 juta. “Kerugian itu murni dari selisih volume pekerjaan teknis, bukan administratif. Seharusnya kontraktor dan tim teknis yang pertama diperiksa,” paparnya dengan nada prihatin. Analisis ini menyibak kelemahan sistem pengawasan proyek di instansi terkait.
Tim hukum juga mempersoalkan penolakan penyidik terhadap permintaan uji poligraf dan psikologi forensik. “Ini alat uji kejujuran yang bisa mengungkap siapa sebenarnya yang berbohong dalam kasus korupsi dana proyek ini,” tandas Ridlwan. Penolakan ini dianggap menghambat upaya pencarian kebenaran materiil.
Kuasa hukum mengklarifikasi bahwa Wahyudi sama sekali tak terlibat dalam dugaan praktek pinjam bendera kontraktor. “PPK tidak mungkin mengurusi detail teknis lapangan. Itu wewenang PPTK dan tim teknis,” tegas Ridlwan. Pernyataan ini menguatkan tesis bahwa penyimpangan proyek infrastruktur mungkin terjadi di level pelaksana.
Di sisi lain, BPK telah memastikan pihak ketiga kontraktor akan dimintai pertanggungjawaban. Langkah ini diharapkan bisa mengungkap mata rantai penyelewengan anggaran daerah secara lebih komprehensif.
Majelis Hakim akhirnya menunda sidang dan menjadwalkan kembali persidangan lanjutan pada Kamis, 3 Juli 2025. Agenda berikutnya akan menghadirkan saksi tambahan untuk melengkapi alat bukti.
Ridlwan menutup dengan harapan besar: “Jangan sampai seperti pepatah ‘orang buang air, orang lain disuruh menyeka’. Kami ingin keadilan hukum ditegakkan tanpa tebang pilih.” Pernyataan ini menyiratkan pentingnya transparansi peradilan dalam mengungkap kebenaran seutuhnya.
- Dipublikasi Pada 26 Juni 2025
- Baru Saja di Update Pada Juni 26, 2025
- Temukan Kami di Google News
Konten ini disempurnakan menggunakan Kecerdasan Buatan (AI).
